PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia
adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dibanding makhluk Allah yang
lain. Dalam melaksanakan kehidupan manusia tidak dapat melaksanakannya sendiri
dan masih membutuhkan bantuan orang lain. Lembaga keuangan mempunyai peran
penting untuk memenuhi kebutuhan manusia, salah satunya adalah lembaga keuangan
di bidang perbankan. Lembaga keuangan perbankan mempunyai fungsi yang sangat
penting, yaitu menghimpun dana dari masyarakat, menyalurkan dana untuk dikelola,
dan memberikan jasa-jasa keuangan yang lain yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Dunia
ekonomi Islam adalah dunia bisnis dan investasi, hal ini bisa dicermati mulai
dari tanda-tanda eksplisit untuk melakukan investasi. Larangan riba untuk
mendorong optimalisasi investasi, serta larangan maysir atau judi dan
spekulasi untuk mendorong produktifitas atas setiap investasi. Sesuai dengan
labelnya, bank syariah adalah institusi keuangan yang berbasis syariat Islam,
hal ini berarti secara makro bank syariah adalah institusi keuangan yang
memposisikan dirinya sebagai pemain aktif dalam mendukung dan memainkan
kegiatan investasi di masyarakat sekitarnya.[1]
Seiring
dengan berjalannya waktu, lembaga keuangan (Financial Institution) terutama
perbankan syariah mengalami perkembangan yang signifikan walaupun awalnya
sempat mengalami kegagalan. Perkembangan perbankan yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah cukup menggembirakan, hal ini mengingat
sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama Islam enggan untuk melakukan
transaksi yang tidak berdasarkan prinsip syariah.
Selain
itu, dimensi keberhasilan bank syariah meliputi keberhasilan dalam
mengoprasionalkan dana yang masuk dan dana yang keluar agar terjadi kestabilan
likuiditas, dan tentunya breroperasi berdasarkan prinsip syariah.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan perbankan Islam di Indonesia sejak
pertama didirikannya BMI mulai tahun
1992?
2. Bagaimana berdiri dan beroprasinya BMT sebagai lembaga awal yang
menitikberatkan pada pengusaha mikro pada tahun 1994?
3. Bagaimana operasional bank syariah serta data statistik BI jumlah
lembaga keuangan syariah dan jumlah kantor perbankan syariah?
C.
Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan perbankan Islam di
Indonesia sejak pertama didirikannya BMI
mulai tahun 1992.
2. Agar lebih mengetahui berdirinya dan beroprasinya BMT sebagai
lembaga awal yang menitikberatkan pada pengusaha mikro pada tahun 1994.
3. Untuk lebih mengetahui bagaimana operasional bank syariah serta
data statistik BI jumlah lembaga keuangan syariah dan jumlah kantor perbankan syariah.
D.
Manfaat Pembahasan
1. Menambah khazanah keilmuan tentang perkembangan perbankan Islam di
Indonesia sejak pertama didirikannya BMI
mulai tahun 1992.
2. Bertambah pengetahuan tentang berdiri dan beroprasinya BMT sebagai
lembaga awal yang menitikberatkan pada pengusaha mikro pada tahun 1994.
3.
Bertambahnya
ilmu, khususnya tentang operasional bank syariah serta data statistik BI jumlah
lembaga keuangan syariah dan jumlah kantor perbankan syariah di Indonesia.
PEMBAHASAN
OPERASIONAL BANK SYARIAH
A. Perkembangan
Perbankan Syariah di Indonesia
Yang dimaksud dengan Bank
Syariah adalah bank yang kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip syariah/hukum
Islam, dan dikenal juga dengan bank Islam. Prinsip Syariah adalah aturan
perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan
dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan
sesuai dengan syariah.[2]
Sedangkan yang dinamakan dengan Bank Umum Syariah (BUS) adalah bank umum yang secara penuh beroperasi
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran. Unit Usaha Syariah (UUS) adalah unit kerja di kantor pusat bank umum
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan
atau unit syariah.
Office Chanelling
(OC) adalah layanan
syariah; dimana kantor cabang bank syariah membuka layanan syariah di kantor
cabang bank konvensional induknya. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.[3]
Di Indonesia, bank syariah yang pertama didirikan
pada tahun 1992 adalah Bank Muamalat. Bila pada tahun 1992-1998 hanya ada satu
unit bank syariah di Indonesia, maka pada tahun 1999 jumlahnya bertambah
menjadi tiga unit. Pada tahun 2000, bank syariah maupun bank konvensional yang
membuka Unit Usaha Syariah telah meningkat menjadi enam unit. Sedangkan jumlah
BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah) sudah mencapai 86 unit dan akan masih
bertambah. Di tahun-tahun mendatang, jumlah bank syariah ini akan terus
meningkat seiring dengan masuknya pemain-pemain baru. Bertambahnya jumlah
kantor cabang bank syariah yang sudah ada, maupun dengan dibukanya Islamic
window di bank-bank konvensional.[4]
Dari sebuah riset yang dilakukan oleh Karim Business
Consulting, diproyeksikan bahwa total aset bank syariah di Indonesia akan
tumbuh sebesar 2.850% selama 8 tahun, atau rata-rata tumbuh 365.25% tiapa
tahunnya. Sebuah pertumbuhan aset yang sangat mengesankan. Tumbuh kembangnya
aset bank syariah ini dikarenakan adanya kepastian disisi regulasi serta
berkembangnya pemikiran masyarakat tentang keberadaan bank syariah.[5]
B.
Lembaga
BMT yang Beroprasi Mulai Tahun 1994
BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) sebenarnya
adalah lembaga swadaya masyarakat, dalam pengertian didirikan dan dikembangkan
oleh masyarakat. Terutama sekali pada awal berdiri, biasanya dilakukan dengan
menggunakan sumber daya, termasuk dana atau modal, dari masyarakat setempat itu
sendiri. Pendirian BMT memang cukup banyak yang dibantu oleh “pihak luar”
masyarakat lokal, namun hal itu lebih bersifat bantuan teknis.
Dapat dikatakan bahwa BMT merupakan suatu lembaga
ekonomi rakyat, yang secara konsepsi dan secara nyata memang lebih fokus kepada
masyarakat bawah, yang miskin dan nyaris miskin (poor and near poor).
BMT-BMT berupaya membantu pengembangan usaha mikro dan usaha kecil, terutama
melalui bantuan permodalan. Untuk melancarkan usaha membantu permodalan
tersebut, yang baisa dikenal dengan istilah pembiayaan (financing) dalam
khazanah keuangan modern, maka BMT juga berupaya menghimpun dana, yang terutama
sekali berasal dari masyarakat lokal di sekitarnya. Dengan kata lain, BMT pada
prinsipnya berupaya mengorganisasi usaha saling tolong menolong antar warga
masyarakat suatu wilayah (komunitas) dalam masalah ekonomi.[6]
Fungsi utama BMT yaitu suatu lembaga keuangan
syariah yang melakukan upaya penghimpunan dana dan penyaluran dana berdasarkan
prinsip syariah. Prinsip syariah yang paling mendasar dan yang sering digunakan
adalah sistem bagi hasil yang adil, baik dalam hal penghimpunan maupun
penyaluran dana. Sampai sejauh ini, kebanyakan BMT berupaya menjalankan fungsi
keuangan syariah tersebut secara professional dan patuh kepada syariah.
Sejarah gerakan BMT telah dimulai pada era 1980-an,
antara lain dengan upaya penggiat masjid Salman ITB di Bandung menggagas
lembaga Teknosa, lembaga semacam BMT, yang sempat tumbuh pesat, meski kemudian
bubar.[7]
Kemuadian ada Koperasi Ridha Gusti pada tahun 1988 di Jakarta, yang juga
menggunakan prinsip bagi hasil. Pada bulan Juni 1992 di Jakarta muncul BMT Bina
Insan Kamil, yang digagas oleh Zainal Mutaqien, Eries Mufti dan Istar Abadi.
Salah satu tonggak penting gerakan BMT adalah
didirikannya Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) pada tahun 1995 oleh
Ketua Umum MUI, Ketua Umum ICMI dan Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia.
Pinbuk yang memperkenalkan serta memopulerkan istilah BMT. Pinbuk pula yang
paling giat mendorong pendirian BMT di berbagai wilayah, disertai dengan
bantuan teknis untuk hal tersebut. Pinbuk banyak mengadakan forum ilmiah,
menerbitkan buku-buku petunjuk teknis, mengembangkan jaringan kerjasama, dan
sebagainya yang memudahkan masyarakat yang mendirikan dan mengelola BMT secara
baik. Tidak heran jika beberapa lembaga keuangan mikro syariah yang telah
beroprasi pun banyak yang bertranformasi menjadi BMT.[8]
BMT yang didirikan pada pertengahan tahun 1990-an,
yang sampai saat ini masih beroprasi dan mengalami perkembangan yang sangat
baik. Antara lain: BMT Tamzis, Wonosobo (1992); BMT Binama, Semarang (1992);
BMT Bina Umat Sejahtera, Rembang (1995); BMT Marhamah, Wonosobo (1995); BMT Ben
Taqwa, Purwodadi (1996); BMT At Taqwa, Pemalang (1996); BMT Marsalah Mursalah
Lil Ummah, Pasuruan (1997); dan lain-lain.
Statistik yang akurat tentang BMT memang belum
tersedia. Menurut perkiraan Pinbuk, sampai dengan pertengahan tahun 2006,
terdapat sekitar 3200 BMT yang beroprasi di Indonesia. Anggota dan calon
anggota yang dilayani pada waktu itu mencapai 3 juta orang. Pinbuk
memproyeksikan jumlahnya akan meningkat menjadi 10 juta orang pada tahun 2010,
yang akan dilayani oleh lebih banyak BMT lagi, yang diperkirakan bertambah
1000-2000 BMT per tahun sampai dengan tahun tersebut.
C.
Konsep
Operasional Bank Syariah
Bank syariah adalah lembaga keuangan yang berfungsi
memperlancar mekanisme ekonomi di sektor riil melalui aktivitas investasi atau
jual beli, serta memberikan pelayanan jasa simpanan atau perbankan bagi para
nasabah. Mekanisme kerja bank syariah adalah sebagai berikut:[9]
1.
Bank syariah melakukan kegiatan pengumpulan dana dari nasabah melalui
deposito/investasi maupun titipan giro dan tabungan.
2.
Dana yang terkumpul kemudian diinvestasikan pada dunia usaha melalui
investasi sendiri (nonbagi hasil/trade financing) dan investasi dengan
pihak lain (bagi hasil/investment financing).
3.
Ketika ada hasil (keuntungan), maka bagian keuntungan untuk bank dibagi
kembali antara bank dan nasabah pendanaan.
4.
Di samping itu, bank syariah dapat memberikan berbagai jasa perbankan
kepada nasabahnya.[10]
Secara teori bank syariah
menggunakan konsep two tier mudharaba (mudharabah dua tingkat), yaitu
bank syariah berfungsi dan beroprasi sebagai institusi intermediasi investasi
yang menggunakan akad mudharabah pada kegiatan pendanaan (pasiva) maupun
pembiayaan (aktiva). Dalam pendanaan bank syariah bertindak sebagai
pengusaha atau mudharib, sedangkan dalam pembiayaan bank syariah
bertindak sebagai pemilik dana shahibul maal. Selain itu, bank syariah
juga dapat bertindak sebagai agen investasi yang mempertemukan pemilik dana dan
pengusaha.[11]
Untuk lebih jelasnya, kita
lihat table di bawah ini alur operasional bank syariah:
Dari gambar di atas, dapat
dijelaskan bahwa dana yang dihimpun melalui prinsip wadiah yad dhamanah,
mudharabah mutlaqah, ijarah, dan lain-lain, serta setoran modal dimasukkan
ke dalam pooling fund. Pooling fund ini kemudian dipergunakan
dalam penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan dengan prinsip bagi hasil
diperoleh bagian bagi hasil/laba.[12]
Sesuai kesepakatan awal
(nisbah bagi hasil) dengan masing-masing nasabah (mudharib atau mitra
usaha); dari pembiayaan dengan prinsip jual beli diperoleh margin keuntungan;
sedangkan dari pembiayaan dengan prinsip sewa diperoleh pendapatan sewa.[13]
Keseluruhan dari pendapatan pooling fund ini kemudian dibagihasilkan
antara bank dengan semua nasabah yang menitipkan, menabung, atau
menginvestasikan uangnya sesuai dengan kesepakatan awal. Bagian nasabah atau
hak pihak ketiga akan didistribusikan kepada nasabah, sedangkan bagian bank
akan dimasukkan ke dalam laporan laba rugi sebagai pendapatan operasi utama.
Sementara itu, pendapatan lain, seperti dari mudharabah muqayyadah (investasi
terikat) dan jasa keuangan dimasukkan ke dalam laporan laba rugi sebagai
pendapatan operasi lainnya.[14]
D.
Sumber
Dana Bank Syariah
1.
Sumber dana bank syariah dari akad wadiah
Wadiah dapat diartikan sebagai titipan dari satu pihak ke pihak lain,
baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja
si penyimpan menghendakinya. Wadiah itu dapat dibedakan menjadi:
a.
Wadiah yad amanah adalah Titipan dimana penerima
titipan tidak boleh memanfaatkan barang titipan tersebut sampai diambil kembali
oleh penitip.
b.
Wadiah yad dhamanah yaitu Titipan dimana barang titipan
selama belum dikembalikan kepada penitip dapat dimanfaatkan oleh penerima
titipan.
Baik tabungan wadiah maupun giro wadiah tidak diperkenankan cerukan (overdraft). Pendapatan dari sumber dana yang mempergunakan
prinsip wadiah dhamanah pada dasarnya merupakan pendapatan bank syariah
seluruhnya. Sumber dana dengan prinsip wadiah perlu diketahui berapa
pendapatannya sehingga dapat dipergunakan sebagai pertimbangan dalam memberikan
bonus kepada penitip.
2.
Sumber Dana dengan
Akad Mudharabah
Mudharabah disebut juga Muqarradhah yang berarti bepergian untuk urusan dagang. Secara
muamalah, Al-Mudharabah adalah akad kerjasama antara pemilik dana (shahibul
maal) dengan pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu usaha
bersama. Keuntungan yang diperoleh dibagi antara keduanya dengan perbandingan
nisbah yang disepakati sebelumnya.
Jenis mudharabah dapat dibedakan menajadi mudharabah muthlaqah dan
mudharabah muqayyadah. Mudharabah muthlaqah yaitu Dimana pemilik dana (shahibul maal) memberikan
keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana
tsb dalam usaha yg dianggap baik dan menguntungkan. Sedangkan mudharabah
muqayyadah yaitu Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan
kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat,
jenis usaha, dsb.
E.
Ciri
Operasional Bank Berdasarkan Prinsip Syariat di Indonesia
1.
Pembinaan dan pengawasan;
Bank Islam dibina dan diawasi oleh Bank Indonesia sebagaimana halnya yang
dilakukan terhadap bank konvensional.
2.
Keselarasan dengan Undang-Undang Perbankan;
Asas, fungsi, dan tujuan bank berdasarkan syariat
selalu sejalan dengan asas, fungsi, dan tujuan bank sebagaimana yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan tentang perbankan.
3.
Ikatan emosional dan peranan ulama;
Bank
Islam memiliki ikatan emosional yang kuat dengan masyarakat Islam di
sekitarnya. Faktor ulama mempunyai peranan yang besar dalam menunjang
keberhasilan suatu bank Islam.[15]
4.
Dewan Pengawas Syariah dan fungsinya;
a.
Mengawasi operasional bank Islam agar tidak menyimpang dari ajaran agama.
b.
Memelihara akhlak dan moral para pengelola bank Islam dan para
nasabahnya, sehingga terbina ikatan emosional yang kuat antara bank dengan
masyarakat Islam di sekitarnya. Maka, baik dari sisi pengerahan dana masyarakat
maupun dari sisi penyaluran dana kepada masyarakat akan berjalan dengan baik dan
sejalan dengan prinsip syariah.
5.
Kelebihan likuiditas;
Pada awal berdirinya bank Islam, karena ikatan
emosional telah terbina dengan baik oleh para ulama setempat, bank Islam akan
dibanjiri para calon pemegang saham dan para penyimpan dana yang mengharapkan
berkah dari investasinya. Akibatnya, kelebihan likuiditas adalah merupakan
gejala yang normal terjadi pada bank Islam.
6.
Kebersamaan dalam memikul resiko dan berbagi hasil;
Baik dari sisi pengerahan dana maupun dari sisi
penyaluran dana kepada masyarakat, asas kebersamaan merupakan dasar utama
operasi bank Islam sehingga ada peluang bernegosiasi.[16]
7.
Produk-produk perbankan Islam;
a.
Pada sisi penghimpunan dana:
1)
Giro Wadiah
2)
Tabungan Mudharabah
3)
Deposito Mudhrabah
b.
Pada sisi penyaluran dana
1)
Pembiayaan bagi hasil, yang terdiri dari:
a)
Pembiayaan mudharabah
b)
Pembiayaan musyarakah
c)
Pembiayaan musyarakah mutanaqishah dan lain-lain
2)
Fasilitas pembiayaan pengadaan barang modal, yang terdiri dari:
a)
Pembiayaan murabahah
b)
Pembiayaan baiu bithaman ajil
c)
Pembiayaan salam
d)
Pembiayaan istisna’ dan lain-lain
3)
Fasilitas pembiayaan atas dasar sewa beli (ijarah) dan
jaminan gadai.
4)
Fasilitas jasa perbankan lainnya, seperti pemberian jaminan (kafalah),
pengalihan tagihan (hiwalah), pelayanan khusus (ji’alah),
pembukaan L/C (wakalah), dan lain-lain.
5)
Fasilitas pembiayaan “pinjaman kebajikan” (qardul hasan) bagi
mereka yang memenuhi syarat.[17]
8.
Daya jangka dan kemampuan penetrasi;
Daya jangkau dan penetrasi bank ini sangat luas,
sehingga profesi onalisme dalam menerapkan prinsip kehati-hatian merupakan faktor
yang sangat penting. Luasnya daya jangkau dan besarnya kemampuan penetrasi bank
Islam adalah karena tak adanya sifat diskriminatif yang melekat pada bank
Islam. Siapa saja nasabah yang usulan proyeknya benar-benar layak dibiayai.
9.
Fasilitas yang ideal dan primadona;
Fasilitas pembiayaan bagi hasil (mudhrabah dan
musyarakah) merupakan fasilitas yang ideal bagi masyarakat, namun karena
resikonya yang cukup besar, maka memerlukan persyaratan yang lebih ketat.
Fasilitas yang merupakan primadona pada kebanyakan bank Islam adalah murabahah
dan baiu bithaman ajil. Namun, fasilitas pembiayaan bagi hasil harus
terus diupayakan penyalurannya.[18]
10. Pendapatan
bank Islam;
a.
Bagian bagi hasil yang diperoleh dari penggunaan fasilitas pembiayaan
bagi hasil mudharabah dan musyarakah.
b.
Mark-up atau margin
keuntungan dari penggunaan fasilitas pembiayaan pengadaan barang modal murabahah,
baiu bithaman ajil, salam, dan istisna’.
c.
Sewa yang diperoleh dari fasilitas sewa beli dan jaminan gadai.
d.
Fee yang diperoleh dari
penggunaan jasa-jasa yang tersedia pada bank Islam.
e.
Biaya administrasi dari penggunaan fasilitas pembiayaan kebajikan.
Seluruh pendapatan ini
belum dikurangi dengan biaya overhead dan pajak terlebih dahulu
dibagihasilkan dengan penyimpan dana (deposito dan tabungan) sesuai dengan porsi
(nisbah) bagi hasil yang telah disepakati sebelumnya.[19]
11. Transparansi bank Islam;
Bagi hasil dari usaha bank Islam yang dibagikan
kepada para penyimpan dana pada awal-awal berdirinya, mungkin secara presentase
belum setinggi tingkat bunga deposito bank kovensional. Untuk dapat tetap
bersaing secara ekonomis, tidak ada halangan bagi bank Islam untuk secara
sukarela menyerahkan sebagian porsi bagi hasilnya untuk memperbesar porsi bagi
hasil penyimpan dana. Penyerahan sebagian porsi bagi hasil bank untuk memperbesar
porsi bagi hasil penyimpan dana tidak boleh menjadi beban nasabah di sisi
penyaluran dana. Sebaliknya, apabila tingkat bunga deposito bank konvensional
turun, bank Islam tidak diperkenankan mengurangi porsi bagi hasil penyimpan
dana. Praktik menyesuaikan dengan tingkat bunga konvensional ini akan
mengakibatkan hilangnya tranparansi yang menjadi ciri khas yang melekat pada
bank Islam.
12. Sistem pembukuan berbasis tunai;
Dalam pembukuan, bank Islam hanya mengenal
penerimaan dan pengeluaran yang benar-benar terjadi saja. Oleh karena itu,
sistem yang lazim digunakan bank Islam adalah sistem pembukuan yang berbasis
tunai (cash basis).[20]
13. Penyelesaian pembiayaan bermasalah;
Sebagai konsekuensi dari sistem pembukuan berbasis
tunai (cash basis), maka setiap ada gejala kesulitan yang
dihadapi nasabah pemakai fasilitas pembiayaan bank Islam, harus segera
diselesaikan dengan cara yang sesuai dengan prinsip syariat, yaitu:
c.
Dibuatkan perjanjian baru tanpa tambahan biaya;
d.
Diberi pinjaman baru dari pos pembiayaan kebajikan (al-qardhul hasan);
e.
Ditutup utangnya dari hibah zakat, infaq, shadaqah;
f.
Ditutup utangnya dari hasil sita jaminan;
g.
Ditutup utangnya dengan penyertaan sementara oleh bank Islam yang telah
memenuhi syarat;[21]
F.
Jasa
Operasional Bank Syariah
Jasa operasional yang ditawarkan oleh perbankan
syariah Indonesia cukup banyak dan bervariasi untuk memenuhi kebutuhan usaha
maupun pribadi. Jasa operasional yang ditawarkan perbankan syariah Indonesia
pada dasarnya tidak berbeda dengan jasa produk yang ditawarkan perbankan
konvensional, tetapi dengan menggunakan akad-akad syariah.[22]
Akad yang digunakan oleh produk-produk pembiayaan ini sebagian besar
menggunakan akad wakalah. Jasa operasional dan akad yang digunakan
perbankan syariah di Indonesia dapat dilihat pada tabel:[23]
Produk/Jasa
|
Akad
|
Setoran Kliring
|
Wakalah
|
Kliring Antar Kota
|
Wakalah
|
RTGS
|
Wakalah
|
Inkaso
|
Wakalah
|
Transfer
|
Wakalah
|
Transfer Valuta Asing
|
Wakalah
|
Pajak Online
|
Wakalah
|
Pajak Impor
|
Wakalah
|
Referensi Bank
|
Surat Keterangan
|
Standing Order
|
|
Indikator
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
BUS
|
|
|
|
|
|
|
Jumlah Bank
|
3
|
3
|
3
|
5
|
6
|
11
|
Jumlah Kantor
|
301
|
346
|
398
|
576
|
711
|
1154
|
UUS
|
|
|
|
|
|
|
Jumlah Bank
|
19
|
20
|
26
|
27
|
25
|
23
|
Jumlah Kantor
|
133
|
163
|
170
|
214
|
287
|
237
|
OC
|
|
456
|
1195
|
1470
|
|
|
BPRS
|
|
|
|
|
|
|
Jumlah Bank
|
|
|
114
|
131
|
139
|
148
|
Jumlah Kantor
|
|
|
185
|
202
|
223
|
282
|
Dari data statisktik yang diambil dari tahun 2005
sampai tahun 2010 tersebut, dapat dikatakan bahwa, pertumbuhan perbankan
syariah dan jumlah kantor syariah mengalami kenaikan dan perkembangan yang
tidak dapat diragukan lagi. Hal itu dikarenakan bank syariah dapat mendatangkan
mashlahah bagi semua pihak.
Dalam Pasal 26 UU Perbankan Syariah juga menegaskan
bahwa kegiatan usaha Bank Umum Syariah (BUS). Unit Usaha Syariah (UUS), dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
sebagaimana dimaksud wajib tunduk kepada prinsip syariah yang difatwakan oleh
DSN-MUI. Substansi dari fatwa itulah yang nanti akan menjadi materi muatan
dalam peraturan Bank Indonesia.[25]
Menurut hemat penulis nantinya perlu penegasan
mengenai tugas dan kewenangan dari komite perbankan syariah. Hal ini penting
mengingat sudah ada lembaga Dewan Syariah Nasional dan secara internal DPS yang
berkompetensi dalam memberikan pendapat mengenai operasional dan produk
perbankan syariah.
Perlu dibentuk mekanisme koordinasi dari
lembaga-lembaga dimaksud sehingga adanya akan mengoptimalkan operasional bank
syariah terutama terkait dengan ketaatan terhadap prinsip-prinsip syariah (sharia
compliant).
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Di Indonesia, bank syariah
yang pertama didirikan pada tahun 1992 adalah Bank Muamalat. Bila pada tahun
1992-1998 hanya ada satu unit bank syariah di Indonesia, maka pada tahun 1999
jumlahnya bertambah menjadi tiga unit. Pada tahun 2000, bank syariah maupun
bank konvensional yang membuka unit usaha syariah telah meningkat menjadi enam
unit. Sedangkan jumlah BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah) sudah mencapai 86
unit dan akan masih bertambah lagi.
Dapat dikatakan bahwa BMT
merupakan suatu lembaga ekonomi rakyat, yang secara konsepsi dan secara nyata
memang lebih fokus kepada masyarakat bawah, yang miskin dan nyaris miskin (poor
and near poor). BMT-BMT berupaya membantu pengembangan usaha mikro dan
usaha kecil, terutama melalui bantuan permodalan. Sejarah gerakan BMT telah
dimulai pada era 1980-an, antara lain dengan upaya penggiat masjid Salman ITB
di Bandung menggagas lembaga Teknosa, lembaga semacam BMT, yang sempat tumbuh
pesat, meski kemudian bubar. Secara sederhana, konsep operasional bank syariah
adalah:
1.
Bank syariah melakukan kegiatan pengumpulan dana dari nasabah melalui
deposito/investasi maupun titipan giro dan tabungan.
2.
Dana yang terkumpul kemudian diinvestasikan pada dunia usaha melalui
investasi sendiri (nonbagi hasil/trade financing) dan investasi dengan
pihak lain (bagi hasil/investment financing).
3.
Ketika ada hasil (keuntungan), maka bagian keuntungan untuk bank dibagi
kembali antara bank dan nasabah pendanaan.
4.
Di samping itu, bank syariah dapat memberikan berbagai jasa perbankan kepada
nasabahnya
B.
Penutup
Berkat
rahmat Allah SWT yang telah memberikan taufiq, hidayah, dan pertolongannya
sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini. \\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\shalawat
serta salam tidak lupa penulis haturkan kepada Nabi kita Muhammad SAW yang
telah memberikan uswatun hasanah (contoh yang baik) pada kita. Penulis
menyadari sekalipun sudah mencurahkan segala usaha dan kemampuan menyusun makalah
ini, namun masih terdapat kekurangan di sana sini tentu masih ada, karena
memang manusia diciptakan dengan tetap membawa kekurangan dan keterbatasan
kemampuanya.
Oleh karena
itu, segala saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak senantiasa
penyusun harapkan, semoga skripsi ini dapat membawa manfaat khususnya bagi
penyusun sendiri dan umumnya bagi yang membacanya Amin ya rabbal ‘alamiiin.
[1] Karnean Perwataatmadja, Bank
dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 05
[3]
Burhanuddin S., Aspek
Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 176
[4] Wirdyaningsih, Dkk, Bank dan
Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2007), h. 19
[5] Adiwarman Azwar Karim, Bank
Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan), (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 15
[6] Awalil Rizky, BMT Fakta dan
Prospek Baitul Maal wat Tamwil, (Yogyakarta: UCY Pres, 2007), h. 18
[7] Ibid, h. 19
[8] Adiwarman Azwar Karim, Bank
Islam (Analisis Fiqh dan Keuangan), h. 14
[9]
Burhanuddin S., Aspek
Hukum Lembaga Keuangan Syariah, h. 178
[10] Abdullah Saeed, Bank Islam
dan Bunga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 65
[11] Adiwarman Azwar Karim, Bank
Islam (Analisis Fiqh dan Keuangan), h. 20
[12] Ascarya, Akad dan Produk Bank
Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 30
[13] Ibid, h. 29
[14] Ibid, h. 32
[15] Abdullah Saeed, Bank Islam
dan Bunga, h. 65-66
[16] Abdullah Azwar Karim, Bank
Islam (Analisis Fiqh dan Keuangan), h. 76-77
[17] Ibid, h. 79
[18] Ascarya, Akad dan Produk Bank
Syariah, h. 99
[19] Ibid, h. 101
[20] Http//Ciri-Operasional Bank
Syariah.webs.com, (Diakses pada Tanggal 22 Mei 2013)
[21] Abdullah Saeed, Bank Islam
dan Bunga, h. 66
[22] Ibid, h. 67
[23] Ascarya, Akad dan Produk Bank
Syariah, h. 127
[24] Http// Statistik Bank
Indonesia-Blogspot.com (Diakses pada Tanggal, 22 Mei 2013)
[25] Abdul Ghofur Anshori, Hukum
Perbankan Syariah, (Yogyakarta: Refika Aditama, 2009), h. 62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar